Jika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Wafat Atau Dibunuh
JIKA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM WAFAT ATAU DI BUNUH
Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc MA
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ﴿١٤٤﴾وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur.[Ali ‘Imrân/3:144-145]
TAFSIR RINGKAS
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan seorang rasul yang berbeda dengan para rasul yang lain. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk para rasul yang memiliki tugas untuk menyampaikan risalah (ajaran) dari Rabb mereka dan melaksanakan perintah-Nya.
Untuk menjalankan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla , tidak disyaratkan bagi para rasul harus hidup kekal. Yang wajib dilakukan oleh seluruh umat adalah menyembah Rabb mereka pada setiap waktu dan keadaan. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman, -yang artinya-, “Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?” dengan meninggalkan keimanan, jihad dan hal-hal lainnya yang telah datang kepada kalian perintah-perintah tentangnya.
“Barangsiapa berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun.” Sebenarnya orang tersebut justru mendatangkan ke-mudharat-an untuk dirinya sendiri. Adapun Allâh, Dia Maha Kaya tidak membutuhkan orang tersebut. Allâh Azza wa Jalla tetap akan menegakkan agama-Nya dan memuliakan para hamba-Nya yang beriman.
Setelah Allâh Azza wa Jalla menghina orang yang berbalik ke belakang (murtad), Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang tetap bersama Rasul-Nya dan tetap melaksanakan perintah Rabb mereka, dengan perkataan-Nya, “Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Kesyukuran tidak akan bisa terwujud kecuali dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla di setiap keadaan.
Dalam ayat ini terdapat petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya, bahwa wafatnya seorang pemimpin atau pembesar tidak boleh membuat keimanan mereka goyah apalagi meninggalkan sebagian konsekuensi keimanan tersebut.
Dan ini hanya bisa terwujud dengan mempersiapkan segala sesuatu dalam urusan agama dan mempersiapkan orang-orang yang memiliki kemampuan, sehingga apabila ada seorang di antara mereka yang wafat maka orang lain akan menggantikannya. Dan juga akan terwujud jika tujuan dan fokus kebanyakan kaum Muslimin adalah menegakkan agama Allâh dan berjihad sesuai kemampuan, bukan membela dan menegakkan pemimpin tertentu.
Dalam ayat ini juga terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq dan para Sahabatnya telah membunuh orang-orang yang murtad setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat karena mereka adalah para pembesar yang mempraktikkan kesyukuran kepada Allâh Azza wa Jalla .
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa batas waktu kehidupan bagi seluruh jiwa tergantung pada izin dan qadar Allâh. Barangsiapa yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan dia akan mati dengan takdirnya maka dia aka mati walaupun tanpa ada sebab. Barangsiapa yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki tetap hidup, maka dia akan tetap hidup, meskipun dia telah melakukan sebab-sebab yang dapat membuatnya mati. Karena Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan qadha’ dan qadar-Nya, dan Allâh telah menulisnya sampai ajal tertentu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Dan setiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula bisa) memajukannya. [Al-A’raf/7: 34]
Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan balasan kepada manusia di dunia dan akhirat sesuai dengan apa-apa yang mereka inginkan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.”
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
كُلًّا نُمِدُّ هَٰؤُلَاءِ وَهَٰؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ ۚ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا ﴿٢٠﴾ انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا
Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami beri bantuan dari kemurahan Rabb-mu. Dan kemurahan Rabb-mu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. [Al-Isrâ’/17: 20-21]
“Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur.” Allâh tidak menyebutkan apa balasan untuk mereka untuk menunjukkan banyak dan besarnya balasan untuk mereka dan juga untuk menunjukkan bahwa balasan itu tergantung kepada kadar kesyukuran, yaitu tergantung kepada sedikit, banyak dan kualitasnya.[1]
PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul [Ali ‘Imrân/3:144]
SEBAB TURUNNYA AYAT
Ketika kaum Muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud, ada beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur sebagai syahid dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri terluka kala itu. ‘Abdullah bin Qim-ah, salah seorang kaum musyrikin, mengatakan kepada orang-orang musyrik bahwa dia telah membunuh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Padahal, sebenarnya dia bukan membunuh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi dia membunuh Mush’ab bin ‘Umair Radhiyallahu anhu . Wajah Mush’ab bin ‘Umair n memang mirip dengan wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Abdullah bin Qim-ah berteriak, “Sesungguhnya Muhammad telah terbunuh.” Ada yang mengatakan bahwa yang berteriak itu adalah iblis, sehingga bisa terdengar oleh seluruh orang di sana. Ada yang mengatakan yang berteriak adalah seorang Yahudi. Allâhu a’lam.
Setelah mendengar teriakan tersebut, orang-orang musyrik mengurangi serangannya kepada kaum Muslimin, karena mereka menyangka bahwa mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sementara itu, sebagian Muslimin mengatakan, “Seandainya ada di antara kita yang mengutus seseorang untuk menghubungi ‘Abdullah bin Ubay, sehingga dia bisa mengamankan kita dari Abu Sufyan.” ‘Abdullah bin Ubay adalah pembesar munafik yang sangat terkenal.
Sebagian Sahabat terduduk dan pasrah. Sedangkan orang-orang munafik mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibunuh. Kembalilah kalian kepada agama kalian yang semula,” yaitu agama sebelum mereka memeluk agama Islam.
Kemudian Anas bin An-Nadhr Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wahai kaumku! Apabila Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibunuh, maka sesungguhnya Rabb Muhammad tidaklah dibunuh. Apa yang kalian bisa lakukan dengan kehidupan ini sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berperanglah sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang! Matilah kalian sebagaimana Beliau terbunuh!” … Kemudian Anas bin An-Nadhr Radhiyallahu anhu maju berperang dan terbunuh.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di atas batu besar dan memanggil manusia. Orang yang pertama kali mengenalinya adalah Ka’b bin Malik Radhiyallahu anhu .
Dia berkata, “Saya mengenali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kedua matanya yang terlihat di bawah topi perangnya. Kemudian saya pun berteriak dengan suara saya yang paling keras, ‘Wahai kaum Muslimin! Kabar gembira! Ini adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .’ Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat agar saya diam. Dan beberapa Sahabat pun menuju ke arah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang-orang yang lari dari peperangan tersebut. Mereka mengatakan, ‘Ya Nabi Allâh! Ayah-ayah dan ibu-ibu kami menjadi tebusan untukmu! Kami menerima kabar bahwa engkau telah terbunuh. Hati-hati kami pun menjadi takut, sehingga kami mundur dari peperangan.’ Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat ini.”[2]
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM SEPERTI RASUL YANG LAINNYA YANG PASTI MENGALAMI KEMATIAN
Ayat ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia seperti para rasul yang lainnya. Dan manusia pasti akan mati. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, mengapa kalian harus terheran-heran dan tercengang dengan kematian beliau?
HARI WAFATNYA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Berkaitan dengan ayat ini, ada kisah menarik yang terjadi beberapa saat setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Kisah ini menunjukkan keutamaan dan kekokohan iman Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bercerita, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ketika itu Abu Bakr Radhiyallahu anhu berada di dataran tinggi. Umar Radhiyallahu anhu berdiri dan berkata, ‘Demi Allâh! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat. Demi Allâh! Tidak ada prasangka di hatiku kecuali hal tersebut. Allâh Azza wa Jalla akan membangkitkan Beliau dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik.’
Setelah itu Abu Bakr Radhiyallahu anhu , kemudian beliau membuka (kain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan menciumnya. Abu Bakr Radhiyallahu anhu berkata, “Demi ayah dan ibuku! Engkau wangi, baik dalam keadaan hidup maupun wafat. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya! Allâh selamanya tidak akan membuatmu merasakan dua kali kematian.[3]’
Kemudian beliau Radhiyallahu anhu keluar dan berkata, ‘Wahai orang yang bersumpah! Tetaplah di tempatmu! Ketika Abu Bakr berbicara, ‘Umar Radhiyallahu anhu duduk. Kemudian Abu Bakr Radhiyallahu anhu memuji Allâh Azza wa Jalla dan mengagungkan-Nya. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berkata, ‘Ketahuilah! Barangsiapa yang menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allâh Azza wa Jalla , maka sesungguhnya Allâh Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. lalu beliau Radhiyallahu anhu membaca ayat:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati.[Az-Zumar/39:30]
dan juga membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” [Ali ‘Imrân/3:144]
(Setelah mendengar itu) Orang-orang pun menangis terisak-isak.”[4]
Di dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , setelah Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut, beliau c mengatakan, “Demi Allâh! seolah-olah semua orang tidak ada yang mengetahui bahwa Allâh telah menurunkan ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacanya, dan manusia mengambil ayat tersebut darinya. Padahal saya dulu mendengar semua orang membaca ayat tersebut.
Kemudian Said bin al-Musayyab Radhiyallahu anhu mengabarkan kepadaku bahwa ‘Umar mengatakan, “Demi Allâh! Saya mengingat ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacakan ayat tersebut. Tubuhku pun lemas, sampai saya tidak bisa merasakan kedua kakiku dan saya terjatuh ke tanah ketika saya mendengar Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut, yang berarti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[5]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ
Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang? [Ali ‘Imrân/3:144]
“Berbalik ke belakang” maksudnya adalah kembali kepada agama kalian yang dulu sebelum kalian beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya, sehingga kalian menjadi orang-orang kafir dan kalian meninggalkan jihad dan kitab Allâh.[6]
Meskipun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal, namun syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa akan terus kekal dan ada sampai hari kiamat. Dan kita wajib beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan mengikuti syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Oleh karena itu, sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat yang sangat berharga untuk seluruh kaum Muslimin agar berpegang teguh dengan sunnahnya.
عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Diriwayatkan dari ‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Pada suatu hari setelah menunaikan shalat Shubuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami. Sebuah nasihat yang membuat mata kami menangis dan menjadikan hati-hati kami takut. Kemudian salah seorang lelaki berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah nasihat orang yang akan berpisah. Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Wahai Rasûlullâh!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saya mewasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allâh dan mendengar lalu taat (kepada pemimpin). Meskipun dia itu seorang budak habsyi. Sesungguhnya siapa saja yang hidup di antara kalian (setelah saya wafat), dia akan melihat perselisihan yang banyak. Jauhilah oleh kalian hal-hal yang baru. Sesungguhnya hal yang baru itu sesat. Barangsiapa yang mendapatkannya di antara kalian, maka dia harus berpegang kepada sunnah–ku dan sunnah al-Khulafâ‘ ar-Râsyidin[7] yang diberi petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham kalian.” [8]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan ke-mudharat-an kepada Allâh sedikit pun. [Ali ‘Imrân/3:144]
Maksudnya, barangsiapa berbalik ke belakang atau murtad, maka kemurtadannya tersebut tidak akan mendatangkan bahaya sedikit pun kepada Allâh Azza wa Jalla, justru orang tersebut telah mendatangkan bahaya untuk dirinya sendiri.
Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan, “Artinya kemurtadan tidak mengurangi sedikit pun kemuliaan, kerajaan, kekuasaan dan kemampuan Allâh Azza wa Jalla .”[9]
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:144]
Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan, “Yaitu membalas orang-orang yang taat kepada-Nya dan mengerjakan perintah-Nya.”[10]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allâh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. [Ali ‘Imrân/3:145]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak akan mati kecuali dengan takdir Allâh. Dia tidak akan mati sampai selesai waktu yang Allâh Azza wa Jalla berikan untuknya. Oleh karena itu, Allâh mengatakan, ‘sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.’.”
Isi Ayat ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلَا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allâh mudah.“ [Fâthir/35:11]
Dan juga firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَىٰ أَجَلًا ۖ وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ ۖ ثُمَّ أَنْتُمْ تَمْتَرُونَ
Dialah yang menciptakan kalian dari tanah, sesudah itu ditentukan ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu hal yang ada pada sisi-Nya (Yang Dia sendirilah yang mengetahuinya), kemudian kalian masih ragu-ragu (tentang kebangkitan tersebut) [Al-An’âm/6:2]
Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk para penakut agar mereka mau berperang. Sesungguhnya maju atau mundur dalam peperangan tidak akan mengurangi umur seseorang dan tidak pula akan menambahnya.”[11]
Firman Allâh Ta’ala:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. [Ali ‘Imrân/3:145]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa melakukan suatu amalan untuk mendapatkan dunia, maka dia mendapatkannya di dunia sesuai dengan yang Allâh tentukan untuknya, tetapi di akhirat dia tidak mendapatkan bagian apapun. Barangsiapa melakukan suatu amalan dengan niat meraih ad-Dâr al-akhirah (surga) maka Allâh akan berikan bagiannya di surga dan bersamaan dengan itu juga Allâh akan memberikan bagian untuknya di dunia.”
Semisal dengan ayat ini Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat. [As-Syûra/42:20]
Begitu pula firman-Nya:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا ﴿١٨﴾ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami akan segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami hendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam. Dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia adalah seorang Mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.[l-Isra’/17: 18-19]
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْبِلاَدِ وَالنَّصْرِ وَالرِّفْعَةِ فِي الدِّينِ، وَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ بِعَمَلِ الآخِرَةِ لِلدُّنْيَا ، فَلَيْسَ لَهُ فِي الآخِرَةِ نَصِيبٌ
Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan ketinggian, kekuasaan di suatu negeri, kemenangan dan kemuliaan di dalam agama. Barang siapa di antara mereka yang mengerjakan amalan akhirat untuk mendapatkan dunia, maka di akhirat dia tidak akan mendapatkan bagian.[12]
Abu Wail rahimahullah mengatakan, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ يَهْرَمُ فِيهَا الْكَبِيرُ، وَيَرْبُو فِيهَا الصَّغِيرُ، وَيَتَّخِذُهَا النَّاسُ سُنَّةً فَإِذَا غُيِّرَتْ، قَالُوا: غُيِّرَتِ السُّنَّةُ؟ قِيلٌ: مَتَى ذَلِكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: إِذَا كَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أَمْوَالُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ
Bagaimana kalian jika fitnah menguasai kalian, orang-orang dewasa menjadi tua, dan anak-anak kecil beranjak dewasa, kemudian manusia menjadikan fitnah tersebut sebagai sunnah (kebiasaan). Apabila kebiasaan tersebut ingin diubah (diperbaiki) maka mereka mengatakan, ‘Apakah sunnah (kebiasaan) telah diubah?’[13] Beliau pun ditanya, “Kapankah itu (akan terjadi) wahai Abu ‘Abdirrahman[14]?” Beliau mengatakan, “Jika penghafal-penghafal al-Qur’an di antara kalian jumlahnya banyak, tetapi sangat sedikit orang-orang yang paham (terhadap agama) di antara kalian. Begitu pula ketika harta-harta kalian banyak, tetapi sedikit orang-orang yang bisa dipercaya di antara kalian dan dunia dicari dengan mengerjakan amalan akhirat.”[15]
Malik bin Dinar rahimahullah pernah berkata:
سَأَلْتُ الْحَسَنَ مَا عُقُوبَةُ الْعَالِمِ ؟ قَالَ: مَوْتُ الْقَلْبِ. قُلْتُ: وَمَا مَوْتُ الْقَلْبِ؟ قَالَ: طَلَبُ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ.
Saya bertanya kepada al-Hasan (al-Bashri), ‘Apa hukuman bagi seorang yang berilmu?’, Beliau menjawab, ‘Kematian hatinya,’ Saya pun berkata, ‘Apa yang dimaksud kematian hati?’ Beliau pun menjawab, ‘Mencari dunia dengan mengerjakan amalan akhirat.’[16]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Dan Kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:145]
‘Ibâd bin Manshûr rahimahullah mengatakan, “Saya bertanya kepada al-Hasan tentang arti ‘Dan kami berikan balasan kepada orang yang bersyukur,’ beliau rahimahullah mengatakan, ‘Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kepada hamba-Nya sesuai niatnya, baik dunia maupun akhirat.’.”[17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Artinya adalah Kami akan memberikan kepada mereka karunia dan rahmat Kami di dunia dan akhirat tergantung besar syukur yang mereka lakukan dan amalan mereka.”[18]
KESIMPULAN
- Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang pasti mengalami kematian.
- Ayat di atas menunjukkan kekokohan iman, ketinggian pemahaman dan keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu di saat manusia terbawa perasaan dan tidak bisa menerima dengan lapang akan wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu tetap kokoh dan bahkan bisa membimbing dan mengingatkan umat akan kebenaran wafatnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat kita tetap wajib mengikuti syariat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
- Apabila ada orang yang murtad atau kafir, maka hal tersebut tidak akan mengurangi sedikit pun kekuasaan Allâh Azza wa Jalla
- Kematian sudah diatur oleh Allâh Azza wa Jalla dan seseorang tidak akan mati kecuali telah sampai ajalnya.
- Ayat di atas mengandung anjuran untuk selalu ikhlas dalam beramal dan peringatan agar tidak mencari dunia dengan amalan-amalan shalih yang dikerjakan.
- Allâh akan membalas orang-orang yang bersyukur sesuai kadar kesyukuran yang mereka kerjakan.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita sebagai pengikut sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai akhir hayat kita dan kita bisa selalu mengikhlaskan ibadah-ibadah kita hanya untuk Allâh semata. Amin.
Daftar Pustaka
- Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil-Kabiir. Jabir bin Musa Al-Jazairi. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
- Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
- As-Sîrah an-Nabawiyah. ‘Abdul-Malik bin Hissyam bin Ayyub Al-Himyari. 1411. Beirut: Darul-Jail.
- Az-Zuhd. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaani. 1425 H/2004. Kairo: Darul-Hadits.
- Ma’âlimut Tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
- Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
- Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
- Tafsîr Ibni Abi Hâtim. Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi. Beirut: Al-Maktabah Al-’Ashriyah.
- Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Tafsir As-Sa’di, hlm. 150.
[2] Lihat Tafsir Al-Baghawi II/114, Tafsir Ibni Katsir II/128 dan As-Sirah An-Nabawiyah Libni Hisyam IV/21.
[3] Maksudnya Allâh k tidak akan menghidupkan kembali Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mematikannya lagi.
[4] HR. Al-Bukhâri no. 3667 dan 3668.
[5] HR. Al-Bukhâri no. 4454.
[6] Lihat Tafsir Ibni Abi Hatim III/778.
[7] Yaitu: Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum.
[8] HR Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Mâjah no. 42, di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani di Shahîh Sunan Ibni Mâjah.
[9] Tafsîr Ibni Abi Hâtim III/778.
[10] Tafsîr Ibni Abi Hâtim III/779.
[11] Tafsîr Ibni Katsîr II/129.
[12] HR Ahmad no. 21224, al-Hâkim dalam al-Mustadrak IV/354 no. 7895 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân IX/156 no. 6416. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth dkk di catatan beliau terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan Syaikh al-Albâni di dalam Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb no. 1332.
[13] Maksudnya ketika mereka menjadikan sesuatu yang bukan agama sebagai agama, maka hal tersebut menjadi kebiasaan mereka dan mereka menyangka itu adalah bagian dari agama. Setelah kebiasaan tersebut menjadi kebiasaan yang melekat dan ada orang yang ingin memperbaikinya dan meluruskan kesalahan mereka, justru mereka terheran-heran dengan hal tersebut dan menyangka bahwa ajaran yang benar tersebut adalah ajaran baru.
[14] Abu ‘Abdirrahman adalah kunyah atau panggilan dari ‘Abdullah bin Mas’ud c .
[15] HR Ad-Darimi I/75 no. 185, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak IV/560 no. 8570 (ini adalah lafaznya) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman IX/212 no. 6552. Isnad hadits ini shahih, Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim,” dan Syaikh Al-Albani menyatakan shahih di dalam Tahriim Alaat Ath-Tharb hal. 16.
[16] HR Ahmad dalam Az-Zuhd no. 1502 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman III/297 no. 1696.
[17] Tafsîr Ibni Abi Hâtim III/780.
[18] Tafsîr Ibni Katsîr II/130.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6277-jika-nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam-wafat-atau-dibunuh.html